Jumat, 20 Januari 2017

Cita-Cita dan Cinta

Hasil gambar untuk cita-cita
net: ilustrasi meriah cita-cita

SEORANG bijak berkata, “Jangan Hanya Sibuk Menghitung Hari, Tapi Buatlah Hari-Hari Itu Menjadi Bermakna.” (Muhammad Ali). Yah, saya ingin makna dalam tiap menit ini jadi modal untuk mengejar cita-cita.
Dulu saya memiliki cita-cita. Sayang, karena asyik membuang waktu, rasa sesal kini seakan menjadi tumor akut yang sulit disembuhkan. Namun, nasi sudah jadi bubur, saya ingin mengubah bubur itu menjadi lezat dan manfaat bagi banyak orang.
Setiap orang yang berpikiran ke depan pasti memiliki cita-cita. Entah itu tinggi, sedang, atau sederhana. Semua orang berhak untuk bercita-cita dan untuk memperjuangkannya sampai cita-cita itu bisa diraih.
Bahkan ada pepatah yang mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Ini maksudnya agar hidup kita mempunyai tujuan dan ada sesuatu yang akan kita perjuangkan untuk kita raih.
Dibandingkan orang yang tidak memiliki cita-cita—yang biasanya hidup asal hidup, tanpa memiliki tujuan yang pasti—orang yang bercita-cita akan lebih optimistis dalam kesehariannya, punya tujuan hidup dan melangkah pasti menjadi manusia pembelajar.
Namun, jangan sampai kita disebut sedang meraih cita-cita dengan banyak tidur di kelas atau di rumah, alasanya sedang menggapai mimpi. Yang pasti, dan saya rasakan, cita-cita sederhana bisa jadi penuh makna jika kita benar-benar memimpikannya.
Cita-cita ini harus ditanam sejak di bangku sekolah. Karena itu adalah anak tangga yang harus dipijak dan dilalui untuk mencapai puncak cita-cita dan harapan. Nah, masalahnya, di bangku sekolah atau anak sekolah saat ini, musuhnya satu, eh dua, eh banyak deh.
Mulai dari bolos, urakan seenaknya, tawuran, nongkrong, gaya-gayaan meski modal cekak, dan pacaran. Lalu timbul pikiran, bisa nggak, cita-cita dan segudang masalah anak sekolah berjalan beriringan. Jawabannya, yah tunggu aja anda saat usia dewasa untuk pembuktiannya.
Sedikit melow, kalau cita-cita dan cinta bisa bergandengan bersama? Saya yang sudah pengalaman sih, akan menjawab tidak. Saya pernah jatuh bangun mengejar "anak tangga" ulangan sekolah. Alasannya sederhana, karena telat bangun lantaran semalaman ngabisin pula gratisan sama si dia.
Lalu, jadi rajin sekolah, tapi ortu aneh nilainya selalu jelek. Em di kelas ternyata lebih asik ngobrol sama si dia. Dan ajaran guru, bisa nanya temen. Eh parahnya pekerjaan temen juga sama, pacaran, males-malesan.
Ada yang berpikir, bila cinta di balik seragam putih abu-abu alias anak sekolah hanya mengkhianati kepercayaan dan cinta ortu. Berapa kali harus ngakalin ortu agar bisa jalan ma pacar. Berapa kali berbohong beli buku untuk bisa traktir pacar, padahal buku sekolah udah banyak gretongan.
Hayo mau apa sih? Masa sekolah hanya sekali seumur hidup, bila salah melangkah menyesal. Kan pacaran pun bagian dari masa sekolah, kalau gak ngalamin nyesel? Wah, pikirian barat tuh, kita ini di beragama Islam. Tak boleh ada penyesalan dalam berbuat jelek, yah jelek.
Tapi kan di samping cita-cita, kita juga ternyata membutuhkan cinta? Bener, tapi bukan dari pacar. Kalau kamu gagal, usia masih belasan tahun, pacar mu paling tinggal mutusin kamu. Dan itu nyesek sekali rasanya. Cinta yang bener kita bisa dapat hanya dari
orangtua, saudara, sahabat, lingkungan sekitar.
Apa yang kita harapkan dari cara pacaran anak sekarang. Katanya sih kita selalu membutuhkan cinta sebagaimana kata pujangga, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga…” Ini hanya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sesungguhnya secara fitrah kita membutuhkan perhatian, kasih sayang dan cinta dari orang lain.
Yah betul, tapi atas alasan apa cinta pada lawan jenis yang gak jelas bisa jadi kebaikan? Yang ada deposit dosa maksiat kita makin bertambah, nambah, dan nambah. Dan ingat kita bakal menghadap Sang Pencipta bisa kapanpun dan dimanapun. Jadi pertanyaannya, maukah kita saat dijemput Malaikat Maut sedang BERPACARAN?
Orangtua sangat bahagian dan ihklas bila Malaikat Maut datang saat kita mengejar cita-cita bukan yang lain. Em jadi ngeri kan? Tapi itu lah hidup, kita semua diutus ke bumi untuk menuntut ilmu, bukan menuntut JODOH. Cukuplah Allah yang nanti mendatangkan JODOH yang baik menurutNya. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar